Sabtu, 09 Mei 2015

Hukum Perikatan

Anggota :
Fanny Wardiyanti – 23213214
Firda Fauziah – 23213492
Gianita Safitri – 23213716
Hilma Azkiya – 24213125

1. Definisi
Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu :
1. Hubungan hukum ;
2. Kekayaan ;
3. Pihak-pihak, dan
4. Prestasi.
Apakah maksudnya? Maksudnya ialah terhadap hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan meletakkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran- ukuran (kriteria) tertentu.
Hak perseorangan adalah hak untuk menuntut prestasi dari orang tertentu, sedangkan hak kebendaan adalah hak yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Intisari dari perbedaan ini ialah hak perseorangan adalah suatu hak terhadap seseorang, hak kebendaan adalah hak suatu benda. Dulu orang berpendapat bahwa hak perseorangan
bertentangan dengan hak kebendaan. Akan tetapi didalam perkembangannya, hak itu tidak lagi berlawanan, kadang- kadang bergandengan, misalnya jual- beli tidak memutuskan sewa (pasal 1576 KUH Perdata).

2. Sumber Hukum Perikatan
Sumber hukum perikatan adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian ;
2. Undang- undang, yang dapat dibedakan dalam :
a. Undang- undang semata- mata
b. Undang- undang karena perbuatan manusia yang Halal ;
c. Melawan hukum;
3. Jurisprudensi;
4. Hukum tertulis dan tidak tertulis;
5. Ilmu pengetahuan hukum.


3. Macam-macam Perikatan
Bentuk perikatan yang paling sederhana ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut:
a. Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Contoh misalnya: saya mengijinkan seorang mendiami rumah saya, dengan ketentuan perjanjian itu akan berakhir bila secara mendadak saya diperhentikan dari pekerjaan saya.
Oleh undang undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian sejak semula sudah batal jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Dalam tiap perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik, kelalaian salah satu pihak (wanprestasi) selalu dianggap sebagai suatu syarat pembatalan yang dicantumkan dalam perjanjian (pasal 1266)
b. Perikatan yang Digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu (Tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.
c. Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatief)
Ini adalah suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah
d. Perikatan Tanggung-Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)
Suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang, tetapi perikatan semacam ini sedikit sekali dalam praktek.
e. Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.
f. Perikatan dengan Penetapan Hukuman (Strafbeding)
Untuk mencegah jangan sampainya si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajiabannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.

4. Ingkar Janji (Wanprestatie)
wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada tiga macam, yaitu :
– Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan;
– Debitur terlambat memenuhi perikatan;
– Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Dalam kenyataannya, sukar menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan karena ketika mengadakan perjanjian pihak- pihak tidak menentukan waktu untuk
melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan dalam perikatan, waktu untuk melaksanakan
prestasi ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya.
a. Pernyataan Lalai (ingebreke stelling)
Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan ialah kreditur dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi dan bunga yang dideritanya.
Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang- undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebreke stelling). “Lembaga “Pernyataan Lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepadasesuatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” (pasal 1238 KUH Perdata). “ yang berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demikian perikatannya sendiri, ialah jika inimenetapkan, bahwa siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” (pasal 1238 KUH Perdata)


5. Cara-cara Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
a. Pembayaran
Pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang, tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung. Menurut pasal 1332 KUH Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang menolak pembayaran.
c. Pembaharuan Hutang Atau Novasi
Menurut pasal 1413 KUH Perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu:
1. Apabila seorang yang berhutang membuat perikatan hutang baru guna orang yang akan mengutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama dihapuskan karenanya.
2. Apabila seorang yang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
3. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditut baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si beruhutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (1) dinamakan novasi obyektif karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (2) dan (3) dinamakan novasi subyektif karena yang diperbaharui disitu adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (2) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (3) novasi dinamakn subyektif aktif.
d. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 KUH Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama.
e. Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang yang berhutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang dihapuskan.
f. Pembebasan Hutang
Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan hapus, perikatan hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak dapat diprasangkakan, tetapi dibuktikan
g. Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Kebatalan/Pembatalan
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.
i. Berlakunya Suatu Syarat-Batal
Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-oleh tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 KUH Perdata.
j. Lewatnya Waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya utnuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut pasa 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun.


6. Kasus
Kronologi Kasus
Kasus antara PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE (Sentosa Kurnia Energy)
PT.GPU salah satu perusahaan peralatan yang menyediakan peralatan kebutuhan perkebunan tersandung masalah dengan PT.KSE. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada bulab maret 2012. Kala itu, PT.KSEmemesan peralatan mesin traktor dan peralatan kebun lainnya dari PT.GPU, kemudian pada bulan mei tahun 2012 peralatan mesin perkebunan itu datang secara bertahap dan pada bulan juni 2012 pemesan peralatan mesin perkebunan itu usai atau telah tuntas.
Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 september 2012 peralatan mesin perkebunan itu telah rusak setelah dipakai beberapa bulan. PT.KSEmenuding perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak perbaikan mesin perkebunan mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1 tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai selama 3 bulan, akan tetapi PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak PT.KSE naik pitam. Pada bulan desember 2012 PT.KSE pun menggugat ke PT.GPU dengan ganti rugi sebesar US$ 5 juta atau sekitar Rp 76 miliar ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.
Dengan dasar itu, pada maret 2013 PT.KSE mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, PT.GPU memiliki hutang perawatan mesin perkebunan milik PT.KSE sejak Agustus 2011, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut PT.GPU memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian peralatan perkebunan, padahal peralatatan perkebunan itu sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak PT.KSE mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2012. Tapi tak kunjung dilunasi oleh PT.GPU hingga pertengahan tahun 2012.
Pada mulanya pihak PT.KSE tidak ingin memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara PT.KSE dan PT.GPU sangat baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak PT.KSE dengan cara mendatangi pihak PT.GPU di kantor PT.KSE, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari PT.GPU. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan olehPT.KSE dengan membawa perkara peralatan mesin perkebunan itu ke pengadilan bisa berbanding terbalik dengan perlakuan PT.GPU yang ingin menyelesaikan perkara hutang PT.KSE dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak PT.KSE bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan yang menyediakan peralatan perkebunan, telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan oleh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum PT.KSE akan menggugat PT.GPU ke pengadilan, begitulah,PT.GPU benar-benar dalam keadaan siaga satu.

Analisis Kasus
Perseteruan yang terjadi antara PT.GPU milik perusahaan ternama di bidang peralatan perkebunan dengan PT.KSE tidak kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
1. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2. Pihak PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal iniPT.GPU sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3. Pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan peralatan mesin perkebunan, padahal peralatan perkebunan sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh PT.KSE.
4. Pembayaran hutang perawatan oleh pihak PT.GPU yang melampaui tempo yang diperjanjikan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak.
Sebagaimana pernyataan kuasa hukum PT.KSE, Sugeng Riyono S.H, “PT.GPUsebagai salah satu perusahaan peralatan perkebunan telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama, bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE. I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindakan suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 1338 B.W yang berbunyi, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik. Maka, sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan dengan i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal pelaksanaan tersebut.
PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPUsebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan PT.GPU merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana menurut Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitur, dalam hal:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Kelalaian PT.GPU terhadap PT.KSE menjadikan terhambatnya kinerja produksi lain yang akan dibuat oleh PT.KSE. Sesuai dengan Pasal 1243 B.W yang berbunyi,”Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Disebutkan dalam poin ketiga adalah pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian peralatan perkebunan sehari setelah peralatan tersebut selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh PT.KSE menjadi terbengkalai. Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari PT.GPU.
Ganti rugi yang diterima dari hitungan materil yakni berupa penyitaan peralatan mesin perkebunan milik PT.GPU yang bernilai Rp18,3 milliar mugkin sudah memadai kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa kecewa tidak mungkin dapat ditebus, sebagaimana PT.GPU yang tidak merespon baik ketika pihak PT.KSE datang menemui PT.GPU di kantornya untuk menagih utang PT.GPU yang tersendat menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik PT.GPUdengan PT.KSE mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan “obat” atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu tidak datang atau diberikan oleh pihak lawan.

Daftar Pustaka:
Katuuk, F. Neltje. 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Universitas Gunadarma
ocw.usu.ac.id/course/…hukum…/kn_508_slide_hukum_perikatan_3.pdf
http://koirula.blogspot.com/2014/01/studi-kasus-hukum-perikatan.html