Sumber-sumber
hukum dibagi menjadi 2 jenis yaitu sumber hukum material dan sumber hukum
formal. Di sini saya akan membahas sumber-sumber hukum formal di indonesia.
Sumber hukum formal merupakan sumber hukum yang ditinjau dari segi bentuknya, sumber hukum ini sudah memiliki bentuk tertentu sehingga kita dapat menemukan dan mengenal suatu bentuk hukum dan menjadi faktor yang memberlakukan dan mempengaruhi kaidah atau aturan hukum. Sumber hukum formal ini biasanya digunakan oleh para hakim, jaksa dan penasehat hukum sebagai dasar atau pertimbangan untuk membuat putusan, rumusan tuntutan dan atau sebagai nasehat hukum kepada kliennya. Sumber-sumber hukum formal dalam tata negara dikenal dengan istilah kenbron.
Sumber hukum formal merupakan sumber hukum yang ditinjau dari segi bentuknya, sumber hukum ini sudah memiliki bentuk tertentu sehingga kita dapat menemukan dan mengenal suatu bentuk hukum dan menjadi faktor yang memberlakukan dan mempengaruhi kaidah atau aturan hukum. Sumber hukum formal ini biasanya digunakan oleh para hakim, jaksa dan penasehat hukum sebagai dasar atau pertimbangan untuk membuat putusan, rumusan tuntutan dan atau sebagai nasehat hukum kepada kliennya. Sumber-sumber hukum formal dalam tata negara dikenal dengan istilah kenbron.
Sumber-sumber hukum formal secara umum
dapat dibedakan menjadi:
1.
Undang-Undang “Statute”
Undang-undang disini identik dengan hukum tertulis (ius scripta)
sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Pengertian
hukum tertulis sama sekali tidak dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat
tulis. Dengan kata lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara
harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai dirumuskan secara
tertulis oleh pembentukan hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
Undang-undang dapat dibedakan atas :
Undang-undang dalam
arti formal, yaitu keputusan
penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga disebut
undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan
ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara
pembentukannya.
Undang-undang dalam
arti materiil, yaitu keputusan atau
ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat
setiap orang secara umum.
2. Kebiasaan atau
“custom”
Kebiasaan (custom) adalah: semua aturan yang walaupun tidak
ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka
yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan memiliki kekuatan
yangberlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi syarat
sebagai berikut:
Harus
ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang
sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.
Harus ada keyakinan hukum dari
orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam arti harus terdapat
keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/
memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/ ditaati serta mempunyai
kekuatan mengikat
3.
Traktat (Treaty) atau
Perjanjian Internasional
Perjanjian
Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti
formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan
formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian
internasional.
Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang
berisi :
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan Negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
4.
Yurisprudensi
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common
Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti
ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa
Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun
yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo
Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu
yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam
putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi
dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
·
Putusan perdamaian
·
Putusan pengadilan
negeri yang tidak di banding
·
Putusan pengatilan
tinggi yang tidak di kasasi
·
Seluruh putusan Mahkamah
Agung
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie),
yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
5. Doktrin
Doktrin adalah
pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan
hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut. Doktrin bukan hanya berlaku dalam
pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional,
bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.
Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat pakar-pakar fiqih seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya
Contoh Kasus Pelanggaran Hukum Formal (Undang-Undang)
Contoh Pelanggaran UU-ITE [pasal 30 (3)]
Seperti yang kita ketahui, kasus Prita
Mulyasari merupakan kasus pelanggaran terhadap UU ITE yang mengemparkan
Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat sorotan masyarakat lewat
media elektronik, media cetak dan jaringan sosial seperti facebook dan twitter.
Prita Mulyasari adalah seorang ibu
rumah tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra
Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita tidak mendapat kesembuhan
namun penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan
keterangan yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakitpun tidak
memberikan rekam medis yang diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari
mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui surat elektronik yang
kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak
Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan.
Lalu RS Omni International mengadukan
Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus
bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu itupun Prita sempat ditahan di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal
pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang
berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas “Koin Kepedulian untuk Prita”.
Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh
Pengadilan Negeri Tangerang.
Contoh kasus di atas merupakan contoh
kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008
tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar