“ Priiiiitttttt “ Bunyi Peluit. Itulah salah satu benda yang
selalu aku bawa ketika aku mengais rezeqi untuk anak dan istriku. Aku Rahman,
lelaki lanjut usia yang memilik satu orang istri dan 4 anak, 2 anak laki-laki
dan 2 anak perempuan. Aku tinggal disebuah rumah gubuk yang terbuat dari papan
triplek dan seng sebagai atapnya, dipinggir rel jalan kereta. Aku bekerja setiap hari sebagai penjaga pintu
kereta api, pekerjaan itu aku dapatkan karena kebaikan penjaga resmi dari PTKAI
yang iba melihat keadaan ekonomi keluargaku, sehingga aku diperbolehkan
menemaninya untuk ikut menjaga pintu kereta itu. Istriku sudah lama sakit dan
tak bisa beraktivitas seperti kebanyakan orang lainnya. Istriku mengalami struk
ringan dibagian kaki, sudah hampir 2 bulan istriku hanya berbaring ditempat tidur.
Sementara 2 anak lelakiku bekerja sebagai kuli panggul pasar dan tukang parkir
yang tidak bisa dipastikan berapa besar pendapatan perharinya, sama sepertiku.
Dan 1 anak perempuan ku hanya diam dan menjaga istriku yang bukan lain adalah
ibunya sendiri, sementara 1 anak perempuanku yg lain sudah meninggal dunia
karena sakit panas yang pernah ia alami yang tak sempat aku bawa berobat ke
dokter karena keterbatasan uang.
Seperti biasa, setiap
pagi tanpa sarapan terlebih dahulu, aku berangkat untuk mencari uang demi
seliter nasi dan tahu ataupun tempe sebagai lauknya. Pekerjaan itu aku lakukan
dengan hati yang ikhlas dan berserah diri kepada yang Maha Kuasa bahwa setiap
makhluk yang Allah ciptakan memiliki garis rezeqi nya masing-masing.
Pada suatu hari dengan cuaca yang sangat panas, dengan keringat
yang membasahi badanku, aku berdiri ditengah tengah jalan rel kereta sambil
meniup peluit yang setia menemaniku setiap hari, dengan tangan yang melambai-lambai
ke arah kendaraan yang akan melewati pintu kereta dengan pertanda kendaraan
untuk segera jalan karena tidak adanya kereta yang lewat saat itu. Tiba-tiba
ada seorang pemuda dengan berpakaian rapi layaknya seperti pegawai kantor
menghampiriku .
“Siang
Pak, saya Ahmad Pak. Boleh saya tau nama Bapak siapa ?” Tanya pemuda itu
“Siang juga dek, Bapak Rahman” Jawabku
“Bapak bekerja sebagai penjaga pintu kereta ? Sudah berapa lama pak kalau boleh saya tau ?” Tanya Ahmad dengan nada suara yang lembut dan ramah
“ Iya, sudah sekitar 8 tahun bapak mencari uang disini” Jawabku
“Siang juga dek, Bapak Rahman” Jawabku
“Bapak bekerja sebagai penjaga pintu kereta ? Sudah berapa lama pak kalau boleh saya tau ?” Tanya Ahmad dengan nada suara yang lembut dan ramah
“ Iya, sudah sekitar 8 tahun bapak mencari uang disini” Jawabku
Setelah perkenalan itu, Ahmad pemuda usia 24 tahun yang kini
sudah menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara itu mengajak saya untuk makan siang bersama, ia pemuda
yang ramah dan baik hati, dia bertanya-tanya seputar kehidupanku dan keluarga,
ternyata sudah cukup lama juga pemuda itu memperhatikan ku dari kejauhan. Semenjak pertemuan itu, sering kali bahkan
setiap pulang bekerja Ahmad selalu menyempatkan dirinya main kerumah ku sekedar
menjenguk istriku yang sedang sakit, bahkan setiap seminggu sekali Ahmad selalu
membawa istriku ke dokter untuk berobat dengan harapan agar istriku bisa
beraktivitas kembali seperti semula. Dia sudah menganggap keluarga ku sebagai
keluarga nya. Begitu pula aku, aku sudah menganggap dia seperti anakku sendiri
karena ia tulus membantu dan menyayangi keluargaku . Tidak pernah kusangka
sebelumnya ada pemuda sebaik Ahmad yang tulus ikhlas membantu keluargaku yang
memang sangat jauh dari kata mampu.
Namun kebaikan, ketulusan dan kasih
sayang yang Ahmad berikan kepadaku dan keluarga, hanya dapat aku rasakan
sebentar, Ahmad pemuda yang sudah aku anggap sebagai anakku sendiri kini telah
meninggal dunia, dia mengalami kecelakaan hebat sepulang dari kerjanya yang
akhirnya mengambil nyawanya. Aku sangat sedih dan merasa sangat kehilangan, untuk
kedua kalinya aku kehilangan anak yang aku sayangi, kini aku hanya bisa berdoa
kepada yang Tuhan Maha Esa untuk menempatkan kedua anakku di Surga-Nya . Amin
~Selesai~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar