Selasa, 09 Desember 2014

Pertemuan Singkat


“ Priiiiitttttt “ Bunyi Peluit. Itulah salah satu benda yang selalu aku bawa ketika aku mengais rezeqi untuk anak dan istriku. Aku Rahman, lelaki lanjut usia yang memilik satu orang istri dan 4 anak, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Aku tinggal disebuah rumah gubuk yang terbuat dari papan triplek dan seng sebagai atapnya, dipinggir rel jalan kereta.  Aku bekerja setiap hari sebagai penjaga pintu kereta api, pekerjaan itu aku dapatkan karena kebaikan penjaga resmi dari PTKAI yang iba melihat keadaan ekonomi keluargaku, sehingga aku diperbolehkan menemaninya untuk ikut menjaga pintu kereta itu. Istriku sudah lama sakit dan tak bisa beraktivitas seperti kebanyakan orang lainnya. Istriku mengalami struk ringan dibagian kaki, sudah hampir 2 bulan istriku hanya berbaring ditempat tidur. Sementara 2 anak lelakiku bekerja sebagai kuli panggul pasar dan tukang parkir yang tidak bisa dipastikan berapa besar pendapatan perharinya, sama sepertiku. Dan 1 anak perempuan ku hanya diam dan menjaga istriku yang bukan lain adalah ibunya sendiri, sementara 1 anak perempuanku yg lain sudah meninggal dunia karena sakit panas yang pernah ia alami yang tak sempat aku bawa berobat ke dokter karena keterbatasan uang.
  Seperti biasa, setiap pagi tanpa sarapan terlebih dahulu, aku berangkat untuk mencari uang demi seliter nasi dan tahu ataupun tempe sebagai lauknya. Pekerjaan itu aku lakukan dengan hati yang ikhlas dan berserah diri kepada yang Maha Kuasa bahwa setiap makhluk yang Allah ciptakan memiliki garis rezeqi nya masing-masing.
Pada suatu hari dengan cuaca yang sangat panas, dengan keringat yang membasahi badanku, aku berdiri ditengah tengah jalan rel kereta sambil meniup peluit yang setia menemaniku setiap hari, dengan tangan yang melambai-lambai ke arah kendaraan yang akan melewati pintu kereta dengan pertanda kendaraan untuk segera jalan karena tidak adanya kereta yang lewat saat itu. Tiba-tiba ada seorang pemuda dengan berpakaian rapi layaknya seperti pegawai kantor menghampiriku .
“Siang Pak, saya Ahmad Pak. Boleh saya tau nama Bapak siapa ?” Tanya pemuda itu
“Siang juga dek,  Bapak Rahman” Jawabku
“Bapak bekerja sebagai penjaga pintu kereta ? Sudah berapa lama pak kalau boleh saya tau ?” Tanya Ahmad dengan nada suara yang lembut dan ramah
“ Iya, sudah sekitar 8 tahun bapak mencari uang disini” Jawabku
Setelah perkenalan itu, Ahmad pemuda usia 24 tahun yang kini sudah menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara itu mengajak  saya untuk makan siang bersama, ia pemuda yang ramah dan baik hati, dia bertanya-tanya seputar kehidupanku dan keluarga, ternyata sudah cukup lama juga pemuda itu memperhatikan ku dari kejauhan.  Semenjak pertemuan itu, sering kali bahkan setiap pulang bekerja Ahmad selalu menyempatkan dirinya main kerumah ku sekedar menjenguk istriku yang sedang sakit, bahkan setiap seminggu sekali Ahmad selalu membawa istriku ke dokter untuk berobat dengan harapan agar istriku bisa beraktivitas kembali seperti semula. Dia sudah menganggap keluarga ku sebagai keluarga nya. Begitu pula aku, aku sudah menganggap dia seperti anakku sendiri karena ia tulus membantu dan menyayangi keluargaku . Tidak pernah kusangka sebelumnya ada pemuda sebaik Ahmad yang tulus ikhlas membantu keluargaku yang memang sangat jauh dari kata mampu.
            Namun kebaikan, ketulusan dan kasih sayang yang Ahmad berikan kepadaku dan keluarga, hanya dapat aku rasakan sebentar, Ahmad pemuda yang sudah aku anggap sebagai anakku sendiri kini telah meninggal dunia, dia mengalami kecelakaan hebat sepulang dari kerjanya yang akhirnya mengambil nyawanya. Aku sangat sedih dan merasa sangat kehilangan, untuk kedua kalinya aku kehilangan anak yang aku sayangi, kini aku hanya bisa berdoa kepada yang Tuhan Maha Esa untuk menempatkan kedua anakku di Surga-Nya . Amin


~Selesai~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar